Macam Keempat : Air Yang Bernajis
Pada macam air ini terdapat dua
keadaan.
Pertama; bila najis itu merubah salah satu diantara rasa, warna dan
baunya.
Dalam keadaan ini para ulama sepakat
bahwa air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci sebagaimana disampaikan olrh
Ibnul Mudzir dan Ibnul Mulqin.
Kedua; bila air tetap dalam keadaan mutlak, dengan arti salah
satu diantara sifatnya yang tiga tadi tidak berubah. Hukumnya adalah ia suci
dan mensucikan, biar sedikit atau banyak.
Alasannya adalah hadits Abu Hurairah
ra : “Seorang badui berdiri lalu kencing di masjid. Orang-orang pun sama
berdiri untuk menangkapnya. Maka bersabdalah Rasulullah saw : ‘Biarlah dia,
hanya tuangkanlah pada kencingnya setimba atau seember air! Kamu dibangkitkan
adalah untuk memberi keringanan bukan kesukaran.‘” (HR. Jama’ah kecuali
Muslim)
Juga hadits Abu Sa’id Al-Khudri ra,
katanya : “Dikatakan orang : ‘Ya Rasulullah, bolehkah kita berwudhu dari telaga
Budha’ah*?’ Maka bersabdalah Nabi saw : ‘Air itu suci lagi mensucikan, tak
satu yang akan menajisinya.‘ (HR. Ahmad, Syafi’i, Abu Daud, Nasa’i dan
Tirmidzi). Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan, sedang Ahmad berkata : “Hadits
telaga Budha’ah adalah shahih.” Hadits ini disahkan pula oleh Yahya bin Ma’in
dan Abu Muhammad bin Hazmin.
Ini adalah pula pendapat dari Ibnu
Abbas, Abu Hurairah, Hasan Basri, Ibnul Musaiyah, ‘Ikrimah, Ibnu Abi Laila,
Tsauri, Daud Azh-Zhahiri, Nakha’i, Malik dan lain-lain. Gazzali mengatakan :
“Saya berharap kiranya madzhab Syafi’i mengenai air, akan sama dengan mazdzhab
Malik.”
Adapun hadits Abdullah bin Umar ra,
bahwa Nabi saw bersabda : “Jika air sampai dua kulah, maka ia tidaklah
mengandung najis.” (HR. Yang Berlima), maka ia adalah mudhtharib, artinya
tidak keruan, baik sanad maupun matannya.
Berkata Ibnu ‘Abdil Barr didalam
At-Tahmid, “Pendirian Syafi’i mengenai hadits dua kulah, adalah madzhab yang
lemah dari segi penyelidikan, dan tidak berdasar dari segi alasan.”
* Telaga Budha’ah adalah telaga di
Madinah. Berkata Abu Daud: “Saya dengar dari Qutaibah bin Sa’id berkata :
‘Sebanyak-banyak air ialah setinggi pinggang.’ Saya tanyakan pula : ‘Bila di
waktu kurang?’ ‘Dibawah aurat,’ ujarnya. Dan saya ukur sendiri telaga Budha’ah
itu dengan kainku yang kubentangkan diatasnya lalu saya hastai, maka ternyata
lebarnya 6 hasta. Dan kepada orang yang telah membukakan bagiku pintu kebun dan
membawaku ke dalam, saya tanyakan apakah bangunannya pernah dirombak, jawabnya
: ‘Tidak.’ Dan dalam sumur itu kelihatan air yang telah berubah warnanya.”
Fiqih Sunnah – Sayyid Sabiq
0 komentar:
Posting Komentar