Pages

Ads 468x60px

Labels

Selasa, 15 Oktober 2013

Idul Adha 1434.H, Masjid Muslimin Lembasung Potong 2 Sapi dan 2 Kambing

Lembasung - Setelah melakukan Salat Idul Adha yang dipimpin oleh imam Ust. M. Said dan Khutib Ust. Sugino, Masjid Muslimin Kampung Lembasung melaksanakan pemotongan hewan kurban sebanyak 2 ekor sapi dan 2 ekor kambing.
“Ada 2 ekor sapi dan 2 ekor kambing yang akan dikurban hari ini,” ujar Ali Gatmir selaku kordinator seksi PHBI dan Panitia kurban Masjid Muslimin Lembasung,
Ali Gatmir menjelaskan, hewan kurban tersebut merupakan bantuan dari beberapa orang, diantaranya;   1 ekor sapi bantuan dari Muhammad Ridho Ficardo bin Muhammad Fauzi Toha dari Bandar Lampung,  1 ekor sapi bantuan Sinudin dari Kelurahan Blambangan Umpu, dan Kambing bantuan dari Hj. Rasmi binti Sarhani dari Kampung Lembasung.
Sementara itu Kepala Kampung Lembasung, Hasbi Said dalam sambutannya sebelum salat id mengatakan, makna Idul Adha adalah mengingatkan kita untuk selalu berbagi terhadap orang-orang yang kurang mampu. Oleh karena itu, hendaknya daging kurban ini nanti benar-benar dibagikan seluruhnya kepada masyarakat yang benar-benar berhak menerimanya. Untuk menghindari kesemrawutan dalam pembagian hewan kurban, maka hendaknya selain panitia kurban diharapkan tidak boleh ikut terlibat dalam proses pelaksanaan pemotongan kurban. Mudah-mudahan mulai tahun ini, penyelenggaraan kurban bias berjalan tertib dan teratur. Selanjutnya atas nama masyarakat Lembasung kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Saudara-Saudara yang telah memberikan bantuan hewan kurban untuk masyarakat Lembasung. Semoga amal Saudara-Saudara diterima oleh Allah SWT.
“Mudah-mudahan kegiatan idul kurban ini menjadi motivasi bagi seluruh masyarakat untuk bekerja lebih baik dan memberikan yang terbaik buat Kampung Lembasung. Dan bukan saling musuh-musuhan antar umat.” Imbuh Hasbi Said.
Baca Selanjutnya - Idul Adha 1434.H, Masjid Muslimin Lembasung Potong 2 Sapi dan 2 Kambing

Minggu, 15 September 2013

Bab Thaharah (Bersuci) : Air dan Macamnya (3)

Macam Keempat : Air Yang Bernajis
Pada macam air ini terdapat dua keadaan.
Pertama; bila najis itu merubah salah satu diantara rasa, warna dan baunya.
Dalam keadaan ini para ulama sepakat bahwa air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci sebagaimana disampaikan olrh Ibnul Mudzir dan Ibnul Mulqin.
Kedua; bila air tetap dalam keadaan mutlak, dengan arti salah satu diantara sifatnya yang tiga tadi tidak berubah. Hukumnya adalah ia suci dan mensucikan, biar sedikit atau banyak.
Alasannya adalah hadits Abu Hurairah ra : “Seorang badui berdiri lalu kencing di masjid. Orang-orang pun sama berdiri untuk menangkapnya. Maka bersabdalah Rasulullah saw : ‘Biarlah dia, hanya tuangkanlah pada kencingnya setimba atau seember air! Kamu dibangkitkan adalah untuk memberi keringanan bukan kesukaran.‘” (HR. Jama’ah kecuali Muslim)
Juga hadits Abu Sa’id Al-Khudri ra, katanya : “Dikatakan orang : ‘Ya Rasulullah, bolehkah kita berwudhu dari telaga Budha’ah*?’ Maka bersabdalah Nabi saw : ‘Air itu suci lagi mensucikan, tak satu yang akan menajisinya.‘ (HR. Ahmad, Syafi’i, Abu Daud, Nasa’i dan Tirmidzi). Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan, sedang Ahmad berkata : “Hadits telaga Budha’ah adalah shahih.” Hadits ini disahkan pula oleh Yahya bin Ma’in dan Abu Muhammad bin Hazmin.
Ini adalah pula pendapat dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Basri, Ibnul Musaiyah, ‘Ikrimah, Ibnu Abi Laila, Tsauri, Daud Azh-Zhahiri, Nakha’i, Malik dan lain-lain. Gazzali mengatakan : “Saya berharap kiranya madzhab Syafi’i mengenai air, akan sama dengan mazdzhab Malik.”
Adapun hadits Abdullah bin Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda : “Jika air sampai dua kulah, maka ia tidaklah mengandung najis.” (HR. Yang Berlima), maka ia adalah mudhtharib, artinya tidak keruan, baik sanad maupun matannya.
Berkata Ibnu ‘Abdil Barr didalam At-Tahmid, “Pendirian Syafi’i mengenai hadits dua kulah, adalah madzhab yang lemah dari segi penyelidikan, dan tidak berdasar dari segi alasan.”
* Telaga Budha’ah adalah telaga di Madinah. Berkata Abu Daud: “Saya dengar dari Qutaibah bin Sa’id berkata : ‘Sebanyak-banyak air ialah setinggi pinggang.’ Saya tanyakan pula : ‘Bila di waktu kurang?’ ‘Dibawah aurat,’ ujarnya. Dan saya ukur sendiri telaga Budha’ah itu dengan kainku yang kubentangkan diatasnya lalu saya hastai, maka ternyata lebarnya 6 hasta. Dan kepada orang yang telah membukakan bagiku pintu kebun dan membawaku ke dalam, saya tanyakan apakah bangunannya pernah dirombak, jawabnya : ‘Tidak.’ Dan dalam sumur itu kelihatan air yang telah berubah warnanya.”
Fiqih Sunnah – Sayyid Sabiq

Baca Selanjutnya - Bab Thaharah (Bersuci) : Air dan Macamnya (3)

Sabtu, 14 September 2013

Bab Thaharah (Bersuci) : Air dan Macamnya (2)

Macam Kedua : Air Musta’mal, Yang Terpakai
Yaitu air yang telah terpisah dari anggota-anggota orang yang berwudhu’ dan mandi.
Hukumnya suci lagi menyucikan sebagai halanya air mutlak tanpa perlu berbeda sedikitpun. Hal itu ialah mengingat asalnya yang suci, sedang tiada dijumpai suatu alasan pun yang mengeluarkannya dari kesucian itu.
Juga karena hadit Rubaiyi’ binti Mu’awwidz sewakti menerangkan cara wudhu’ Rasulullah saw, katanya: “Dan juga disapunya kepalanya dengan sisa wudhu’ yang terdapat pada kedua tangannya.
Juga dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw berjumpa dengannya di salah satu jalan kota Madinah sedangkan waktu ia dalam keadaan junub. Maka ia pun menyelinap pergi dari Rasulullah saw lalu mandi, kemudian datang kembali. Ditanyakanlah oleh Nabi saw kemana ia tadi, yang dijawabnya bahwa ia darang sedang dalam keadaan junub dan tak hendak menemaninya dalam keadaan tidak suci itu. Maka bersabdalah Rasulullah saw: “Mahasuci Allah, orang Mukmin itu tak mungkin najis.
Jalan mengambil hadits ini sebagai alasan ialah kearena disana dinyatakan bahwa orang Mukmin itu tak mungkin najis. Maka tak ada alasan menyatakan bahwa air itu kehilangan kesuciannya semata karena bersentuhan, karena itu hanyalah bertemunya barang yang suci pula hingga tiada membawa pengaruh apa-apa.
Berkata Ibnul Mundzir: “Diriwayatkan dari Hasan, ‘Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, ‘Atha;, Makhul dan Nakha’i bahwa mereka berpendapat tentang orang lupa menyapu kepalanya lalu mendapatkan air di janggutnya: Cukup bila ia menyapu dengan air itu. Ini menunjukkan bahwa air musta’mal itu mensucikan dan demikianlah pendapatku.”
Dan madzhab ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Malik dan Syafi’i, dan menurut Ibnu Hazmin juga merupakan pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Abu Tsaur dan semua ahli Zhahir.
Macam Ketiga : Air Yang Bercampur Dengan Barang yang Suci
Misalnya seperti sabun, kiambang, tepung dan lain-lain yang biasanya terpisah dari air.
Hukumnya tetap mensucikan selama kemutlakannya masih terpelihara. Jika sudah tidak, hingga ia tak dapat lagi dikatakan air mutlak, maka hukumnya ialah suci pada dirinya, tidak mensucikan bagi lainnya.
Diterima dari Ummu Athiyah, katanya :
“Telah masuk ke ruangan kami Rasulullah saw ketika wafat puterinya Zainab, lalu katanya : ‘Mandikanlah ia tiga atau lebih banyak lagi jika kalian mau, dengan air dan daun bidara, dan campurlah yang penghabisan dengan kapur barus atau sedikit daripadanya. Jika sudah selesai, beritahukanlah kepadaku.‘ Maka setelah selesai, kami sampaikanlah kepada Nabi saw. Diberikannyalah kepada kami kainnya serta katanya : ‘Balutkanlah pada rambutnya!‘ Maksudnya kain itu.” (HR. Jama’ah)
Sedang mayat tidak boleh dimandikan kecuali dengan air yang sah untuk mensucikan orang yang hidup. Dan menurut riwayat Ummu Hani’, bahwa Rasulullah saw mandi bersama Maimunah dari sebuah bejana, yaitu sebuah pasu yang didalamnya terdapat sisa tepung.
Jadi di dalam kedua hadits terdapat percampuran, hanya tidak sampai sedemikian rupa yang menyebabkannya tak dapat lagi disebut air mutlak.
Fiqih Sunnah – Sayyid Sabiq

Baca Selanjutnya - Bab Thaharah (Bersuci) : Air dan Macamnya (2)

Bab Thaharah (Bersuci) : Air dan Macamnya (1)

Macam Pertama : Air Mutlak
Hukumnya adalah bahwa ia suci lagi menyucikan, artinya bahwa ia suci pada dirinya sendiri dan menyucikan bagi lainnya. Di dalamnya termasuk macam-macam air sebagai berikut:
1. Air hujan, salju atau es, dan air embun, berdasarkan firman Allah Ta’ala :
Dan diturunkan-Nya padamu hujan dari langit untuk menyucikanmu.” (QS. Al Anfal:11)
Dan Kami turunkan dari langit air yang suci lagi mensucikan.” (QS. Al Furqan:48)
Juga berdasarkan hadit Abu Hurairah ra, katanya: “Adalah Rasulullah saw bila membaca takbir di dalam sembahyang diam sejenak sebelum membaca Al Fatihah, maka saya tanyakan: ‘Demi kedua orangtuanku, wahai Rasulullah! Apakah kiranya yang Anda baca ketika berdiam diri di antara takbir dan membaca Al Fatihah?’ Rasulullah pun menjawab: ‘Saya membaca: Ya Allah, jauhkanlah daku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau menjauhkan Timur dari Barat. Ya Allah, bersihkanlah daku sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dari kotoran. Ya Allah, sucikanlah daku dari kesalahan-kesalahan dengan salju, air dan embun.‘” (HR Jama’ah kecuali Tirmidzi)
2. Air laut,
berdasarkan hadits Abu Hurairah ra, katanya : “Seorang laki-laki menanyakan kepada Rasulullah, katanya : ‘Ya Rasulullah, kami biasa berlayar di lautan dan hanya membawa air sedikit. Jika kami pakai air itu untuk berwudhu, akibatnya kami akan kehausan. Maka bolehkan kami berwudhu dengan air laut?’ Berkatalah Rasulullah saw : ‘Laut itu airnya suci lagi mensucikan, dan bangkainya hala dimakan.‘” (Diriwayatkan oleh Imam Yang Lima)
Berkata Imam Tirmidzi -rahimahullah- : “Hadits ini hasan lagi shahih, dan ketika kutanyakan kepada Muhammad bin Ismail al-Bukhari -rahimahullah- tentang hadits ini, jawabnya ialah ‘Hadits ini shahih.’”
3. Air telaga,
karena apa yang diriwayatkan dari Ali ra, katanya : “Bahwa Rasulullah saw meminta seember penuh dari air zamzam, lalu diminumnya sedikit dan dipakainya untuk berwudhu.” (HR Ahmad)
4. Air yang berubah disebabkan lama tergenang dan tidak mengalir, atau disebabkan bercampur dengan apa yang menurut ghalibnya tak terpisah dari air seperti kiambang dan dain-daun kayu, maka menurut kesepakatan ulama, air itu tetap termasuk air mutlak. Alasan mengenai air semacam ini ialah bahwa setiap air yang dapat disebut air secara mutlak tanpa kait, boleh dipakai untuk bersuci.
Firman Allah Ta’ala :
Jika kamu tiada memperoleh air, maka bertayammumlah kamu!” (QS. Al Maidah:6)
Fiqih Sunnah – Sayyid Sabiq

Baca Selanjutnya - Bab Thaharah (Bersuci) : Air dan Macamnya (1)

Jumat, 13 September 2013

Bekal Ibadah Haji


Di dalam Alquran Surat Al-Baqarah: 197 “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (kata-kata kotor), berbuat fasik (zalim kepada yang lain) dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”.

Ayat ini secara tegas menyatakan persiapan yang harus dimiliki oleh setiap jamaah calon haji, di samping hal-hal yang bersifat fisik material, termasuk uang dan barang-barang lainnya, juga hal-hal yang bersifat spiritual dan rohaniah yang menguatkan akhlak dan perilaku yang baik, serta menjauhkan dari perilaku yang  buruk dan tercela, terutama tiga perilaku yang secara eksplisit diungkap dalam ayat tersebut.
   
Pertama, dilarang mengeluarkan kata-kata dan ucapan yang kotor dan kasar yang tidak pantas dan tidak layak diucapkan di tanah haram, terlebih lagi pada saat berpakaian ihram, seperti kata-kata yang berbau porno, menyakitkan, atau berisikan cacian dan hinaan.

Selanjutnya harus diganti dengan ucapan-ucapan yang mencerminkan kepatuhan dan ketundukan hati kepada Allah SWT, seperti tasbih, tahmid, takbir, tahlil, doa, membaca salawat kepada Nabi SAW, dan memperbanyak membaca Alquran.
   
Kedua, dilarang berbuat fasik dan zalim serta aniaya kepada sesama jamaah atau pada makhluk Allah SWT lainnya yang hidup di tanah haram, termasuk dilarang merusak dan mencabuti tanaman yang tumbuh, serta berburu atau membunuh binatang. Dan juga dilarang berdusta, berbohong dan menipu orang lain.

Ketiga, dilarang berbantah-bantahan yang menyebabkan timbulnya permusuhan dan pudarnya semangat persaudaraan atau ukhuwah islamiyyah terutama antar sesama jamaah, baik yang berasal dari satu daerah atau satu negara, maupun dari daerah dan negara lain.

Semua jamaah haji harus harus larut dalam suasana keakraban, kekeluargaan, saling menolong dan saling membantu yang mencerminkan satu tubuh (kal jasadil waahid) atau satu bangunan yang solid (kalbunyaan yasyuddu ba’duhu ba’dhan).

Hal-hal tersebut itulah yang harus menjadi bekal utama dari setiap jamaah calon haji, yang kalau dilatih dan dibiasakan selama ibadah haji, mudah-mudahan akan menjadi perilaku utama yang masuk ke dalam struktur kepribadian para jamaah.

Dan itulah oleh-oleh yang seharusnya dibawa oleh para jamaah ketika kembali ke Tanah Air dan ke tempat masing-masing. Adanya peningkatan perilaku yang semakin baik dari sebelumnya.

Dan itulah yang dikatakan haji mabrur sebagaimana dikemukakan oleh Imam Hasan al-Basri (Fiqh Sunnah Vol. 5) ayyakuuna ahsana min qablu wa ayyakuuna qudwata ahli baladihi (perilakunya lebih baik daripada sebelumnya dan menjadi panutan masyarakat lingkungannya).

Selamat melaksanakan ibadah haji. Semoga mempersiapkan bekal takwa dan membawa oleh-oleh perubahan perilaku yang lebih baik. Wallahu A’lam.(oleh. KH Didin Hafidhuddin)
Baca Selanjutnya - Bekal Ibadah Haji

Balita Jangan Dibiasakan Menonton Tayangan Televisi

Jika anda sayang dengan buah hati yang masih berusia dini, jangan membiasakannya dengan asupan tayangan televisi, apalagi dalam durasi waktu lama.
Mengajak balita menonton tayangan televisi dalam durasi yang lebih, ternyata merupakan sebuah kebiasaan yang kurang baik bagi tumbuh kembang sang anak.
Hal ini terungkap dalam Gathering Bidan Rumah Sakit Islam (RSI) Sultan Agung Semarang, bertajuk ‘Pola Tumbuh Kembang Anak’ di ruang Islamic Teaching Hospital (ITH), Jumat (13/9).
Dokter Spesialis Anak RSI Sultan Agung, dr Hj Pujiati Abbas SpA mengatakan, selama ini banyak yang salah kaprah di tengah masyarakat. Terutama mereka yang menjadikan televisi sebagai instrumen perangsang tumbuh kembang anak.
"Jangan sekali-kali mengajak balita untuk menonton televisi dalam durasi yang lama. Justru kebiasaan itu bisa melambatkan perkembangan tumbuh kembang anak," katanya.
Dalam periode balita, jelasnya, seharusnya orang tua memberikan rangsangan berupa gerakan motorik kasar seperti pergerakan dan sikap tubuh. Bisa juga diberikan rangsangan gerakan motorik halus seperti menggambar, cara memegang suatu benda, kemampuan bahasa seperti merespon suara, mengikuti perintah dan berbicara.
"Sering menonton televisi dan dalam waktu yang lama, bisa membuat malas anak. Sehingga anak akan malas bergerak dan mengakibatkan obesitas," tambahnya.
Alasan lain, jelas Pujiati, saat ini tontonan televisi hampir tidak ada yang bersifat tuntunan. Semuanya hampir menggambarkan perilaku hedonis dan kekerasan.
Menurut dokter yang praktek di poli anak RSI Sultan Agung ini, saat balita merupakan periode penting dalam tumbuh kembang anak. Karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya.
Pada masa balita inilah kemampuan berbahasa, kreativitas, sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan selanjutnya. Perkembangan moral serta dasar-dasar kepribadian sang anak juga dibentuk pada masa balita ini.
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/13/09/13/mt20kg-balita-jangan-dibiasakan-menonton-tayangan-televisi
Baca Selanjutnya - Balita Jangan Dibiasakan Menonton Tayangan Televisi

Antisipasi Tindak Pencurian, Jamaah Haji Diimbau Gunakan ATM

Maraknya kasus kriminal yang dialami Jamaah Haji, Direktur Jenderal (Dirjen) Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU), Kementerian Agama, Anggito Abimanyu mengimbau para Jamaah Haji untuk tidak menyimpan dan membawa uang dalam bentuk tunai (cash) selama pelaksanaan Ibadah Haji.
Kepada Republika, Kamis (12/9) ia menyampaikan, Kementerian Agama bersama beberapa Bank Milik Pemerintah seperti Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BRI, Bank Syariah Mandiri melakukan kerja sana guna meluncurkan Kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM).

ATM ini, ia melanjutkan, dapat dipergunakan sebagai sistem penyimpanan uang melalu kartu debit dan sistem aliran informasi pengendalian jamaah.

Dia mengakui, Kementerian Agama memang sedikit terlambat mengantisipasi maraknya tindak kriminal pencurian uang yang menghantui para Jamaah Haji.

Oleh sebab itu, menurut dia, Program ATM Bank Mitra ini merupakan sarana untuk menekan tingkat kriminalitas pencurian bagi Jamaah Haji.

Anggito menjelaskan, berdasarkan data keamanan panitia penyelenggaraan haji 2012 menemukan, 269 kasus kejahatan yang merugikan material mencapai Rp 668 juta atau setara dengan 283.569 Riyal.

"Dengan layanan ini, pihak keluarga para jamaah haji bisa mentransfer uang dengan menggunakan rekening yang ada pada Bank Mitra," ujarnya.
Dia menambahkan, masing-masing Bank Mitra memiliki area embarkasi yang berbeda-beda dari satu daerah dengan daerah yang lainnya. Dia menambahkan, khusus untuk Jamaah Haji Bekasi, layanan ATM Bank Mitra ini di lakukan Bank BNI.

Ia menambahkan, layanan tersebut memang terbentuk demi kenyamanan para Jamaah Haji agar tenang dalam beribadah.

Dia menegaskan, seluruh produk yang di luncurkan ini semata hanya ingin memberikan pelayanan yang prima kepada Jamaah Haji agar dapat menjalankan Ibadah Haji dengan tenang, nyaman dan khusuk.
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/umroh-haji/13/09/12/mt07ih-antisipasi-tindak-pencurian-jamaah-haji-diimbau-gunakan-atm.
Baca Selanjutnya - Antisipasi Tindak Pencurian, Jamaah Haji Diimbau Gunakan ATM

Kisah Keringnya Sungai Nil

Peradaban Nil terancam. Sungainya tak mau lagi berair. Negeri Fir'aun dilanda kekeringan. Rakyatnya kelaparan dan jatuh miskin.
Apa yang terjadi? Sementara Nabi Musa berada di tengah mereka. Bukan meminta mukjizat Musa, mereka justru menganggap sang nabiyullah penyebab kesialan mereka hingga Nil tiba-tiba mengering.

Sungai terpanjang di dunia itu memang bukan tanpa sebab tiba-tiba tak lai berair. Kisah bermula ketika Musa meminta Fir'aun melepaskan perbudakan Bani Israil dan mengizinkan mereka untuk ikut bersamanya, pindah dari negeri Mesir.
Namun Fir'aun tak menanggapi. Ia justru kemudian mengumpulkan rakyatnya dalam sebuah pertemuan besar. Seluruh warganya diundang, termasuk anak-anak.  Pun Bani Israil. Mereka membanjiri pertemuan tersebut.

Dalam pertemuan agung itu, Fir'aun berseru kepada seluruh rakyatnya, "Akulah tuan kalian, aku menyediakan semua kebutuhan kalian. Lihatlah Musa, ia tak memiliki emas. Ia hanyalah orang miskin," kata Fir'aun.

Bani Israil pun sekejap langsung percaya dengan kata-kata Fir'aun. Lupa sudah bahwa raja mereka itu telah menindas bahkan membunuh anak-anak mereka. Namun mereka terpedaya dengan kilauan emas dan perak. Lupa sudah nabi mereka Musa yang selalu menyeru hak mereka untuk lepas dari belenggu sebagai budak Fir'aun. Mereka degan mudahnya tergiur janji Fir'aun yang akan memenuhi segala kebutuhan hidup mereka, meski janji itu palsu belaka.

Dalam keterpedayaan dan kebodohan itu, Bani Israil sertamerta menaati Fir'aun dan mengabaikan panggilan Musa. Mereka tergiur godaan dunia. Musa dicela, tak dianggap sebagai utusan Allah Ta'ala.

Maka keesokan hari setelah pertemuan itu, tanah Mesir heboh. Air di Sungai Nil tiba-tiba habis begitu saja. Nil terus kering hingga tanah pertanian gaga panen, rakyat kelaparan, Mesir dirundung panceklik. Namun bukan bertaubat agar terbebas dari adzab Allah ini, Fir'aun dan pengikutnya tetap sombong dan berbangga diri. Mereka malah menuding Musa sebagai pembawa sial bagi negeri Mesir.

Maka Allah pun melanjutkan adzabNya. Jika sebelumnya kekeringan, Allah kemudian menimpakan banjir besar kepada rakyat Mesir. Lahan subur habis terkikis. Ketika mereka tak tahan lagi dengan banjir, mereka pun mendatangi Musa. "Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhamnu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu dan pada kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu," ujar para pengikut Fir'aun.

Musa pun kemudian memanjatkan doa dan segera terijabah. Adzab banjir pun reda seketika. Namun begitu adzab sirna, mereka ingkar janji. Mereka pun tetap tak beriman kepada kenabian Musa. Allah pun kembali menurunkan azab.

Allah mengirimkan sekawanan belalang yang kemudian memakan habis tanaman. Warga Mesir kembali kelaparan. Lalu, mereka pun kembali kepada Musa dan meminta hal sama. "Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhamnu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu dan pada kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu," ujar mereka.

Adzab belalang pun usai. Namun lagi-lagi, mereka kembali ingkar.  Allah memberikan adzab kembali dengan mengirim sekawanan kutu. Tiba-tiba wabah penyakit akibat kutu itu pun melanda tanah Cleopatra. Saat merasa sulit, mereka pun kembali kepada Musa, dan meminta hal yang sama. Musa dengan sabar mengabulkan dengan harapan mereka akan sadar.

Namun lagi, mereka kembali ingkar. Allah pun tak segan mengirimkan kembali adzab. Kali ini, dikirimkan sekelompok katak. Tiba-tiba Mesir dipenuhi sesak oleh katak yang terus melompat-lompat, banyak sekali jumlahnya. Rakyat Mesir hidup dipenuhi katak-katak itu. Tertekan, mereka kembali lagi kepada Musa, dengan permintaan yang sama. Namun ini hanyalah mengulang seperti sebelumnya. Adzab dihilangkan, mereka kembali ingkar, demkian seterusnya.

Maka Allah pun kembali mengirim azabNya. Allah Ta'ala mengubah air nil menjadi darah dengan bau anyir yang menyengat. Ajaibnya, ketika Musa dan pengikutnya meminum air itu, maka bagi mereka itu bukanlah darah melainkan air biasa. Jika rakyat Mesir pengingkar kenabian Musa ingin meminumnya, maka tiba-tiba air berubah menjadi darah.

Seperti sebelum-sebelumnya, mereka pun mendatangi Musa, dan mengatakan hal sama. Namun setelah Musa memanjatkan doa dan adzab telah diangkat, mereka pun kembali pada keingkaran. Bertubi-tubi Allah menimpakan adzab. Tentu saja bagi orang yang berakal, itu lebih dari cukup untuk menunjukkan kenabian Musa dan keesaan Allah. Namun warga Mesir telah buta hati. Mereka telah tersesat.

Kisah tentang adzab  bagi rakyat Mesir ini dikisahkan dalam Alquran surah Al Araf ayat 130-136. Kisah lengkapnya, rujuklah Stories of the Prophets atau Qashashul Anbiya, karya Ibnu Katsir. (Oleh. Afriza Hanifa)

Baca Selanjutnya - Kisah Keringnya Sungai Nil

Menjaga Allah

Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu.. “ (HR. Tirmizi)

Kalimat emas di atas adalah potongan dari pesan Nabi SAW kepada sahabat kecilnya, Abdullah bin Abbas. Melalui putra pamannya itu, Nabi SAW mengajarkan kita semua bila kita menjaga Allah sebaik-baiknya, Allah pasti akan menjaga kita dengan penjagaan yang melebihi kita upayakan.

Menjaga Allah menurut para ulama artinya menjaga batasan-batasan, hak-hak, perintah-perintah, dan larangan-larangan Allah.

Lebih jauh lagi bentuk penjagaan itu dengan berkomitmen untuk menjalankan perintah Allah, menjauhi larangannya, dan tidak melampaui batasan yang dilarang oleh-Nya. Jika semua itu dikerjakan, maka ia termasuk orang yang menjaga Allah sebaik-baiknya.

Termasuk di dalam upaya menjaga Allah adalah menjaga lisan dari mengucapkan kata-kata kotor, melakukan provokasi, sumpah palsu, menggunjing, dan berbohong. 

Menjaga perut dari makan dan minum barang-barang yang haram atau syubhat. Menjaga kemaluan agar tidak terjerembab dalam hubungan terlarang.

Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang bisa menjaga di antara dua rahangnya (mulut) dan dua kakinya (kemaluan), maka dia masuk surga.” (HR. Hakim)

Berkata Abu Idris Al-Khaulani bahwa titah yang pertama kali disampaikan Allah kepada Adam saat turun ke dunia adalah hendaklah dia menjaga kemaluannya. Dikatakan kepadanya, “janganlah kamu menggunakannya melainkan kepada yang halal bagimu.”

Orang yang menjaga Allah berarti dia memuliakan-Nya, menjaga hak-Nya, selalu mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya, serta mencintai-Nya dan menjadikan cinta tersebut sebagai dasar hidupnya. Hidupnya hanya untuk meraih ridha-Nya.

Jika seseorang telah memuliakan Allah dan memberikan hak Allah berarti dia telah berserah diri, tawakkal, ridha dengan ketetapan-Nya, bersedia dibimbing oleh-Nya. Dia juga tidak akan menyalahi perintah-Nya, tidak bersekutu untuk memerangi agama-Nya dan syiar-syiar-Nya.

Konsekuensi dari menjaga Allah adalah Allah akan menjaga Hamba-Nya tersebut. Menurut Ibnu Rajab, penjagaan Allah itu mengandung dua unsur.

Pertama, Allah akan menjaga hambanya dengan memenuhi kebutuhan dunianya seperti terjaga badan, anak, keluarga, dan hartanya. Kedua, Allah akan menjaga agama dan imannya. Hamba itu terjaga dari perkara syubhat yang menyesatkan dan dari syahwat yang diharamkan.

Agamanya terjaga hingga hamba itu meraih husnul khatimah saat menutup matanya di akhir hayatnya. Penjagaan  kedua ini lebih mulia dibanding yang pertama.

Betapa luar biasa balasan dan penghargaan Allah kepada hamba-Nya. Kita sadari betapapun upaya kita menjaga Allah, tetap saja kita tidak akan pernah bisa melakukan yang terbaik sesuai dengan kehendak-Nya. Namun, Allah selalu membalas dengan balasan terbaik yang sejatinya itu belum pantas untuk kita. (Oleh. GH Habib Ziadi)
Baca Selanjutnya - Menjaga Allah

Rabu, 11 September 2013

Masjid Sebagai Pusat Pembinaan Umat

Masjid bagi umat Islam merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dengan kehidupan umat Islam.Masjid bukan hanya sebagai simbul Islam, tetapi sesungguhnya merupakan sarana untuk mewujudkan kemajuan peradaban, kemasyarakatan, dan kerukunan umat Masjid bagaikan jantung bagi tubuh manusia. Sebagai jantung, apabila berfungsi selama 24 jam tanpa berhenti, maka darah segar akan beredar keseluruh organ tubuh, sehingga tubuh menjadi sehat dan kuat untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari. Sebaliknya, manakala jantung sakit bahkan berhenti, maka tubuh akan mengalami sakit bahkan menimbulkan kematian ( Ahmad Sarwono :2003).
Sejak awal sejarahnya masjid merupakan pusat segala kegiatan masyarakat Islam. Pada awal Rasulullah hijrah ke Madinah maka salah satu sarana yang dibangun adalah masjid. Sehingga masjid menjadi point of development. Masjid menjadi pusat segala kegiatan melahirkan kehidupan islami yang penuh berkah yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Masjid yang kita harapkan adalah masjid yang berfungsi sebagai lembaga mencetak umat yang beriman, beribadah menghubungkan jiwa dengan khaliq, umat yang beramal sholeh dalam kehidupan masyarakat yang berwatak dan berakhlak teguh. Masjid yang hidup, dan memancarkan kehidupan, dan meningkatkan kualitas umat.
Masjid yang memberikan manfaat banyak bagi kehidupan jamaahnya. Bukan hanya tempat sholat. Itulah masjid yang hidup dan menghidupkan, bukan masjid yang bentuk bangunan indah, seperti bangunan cina pakai marmer dan berukir, tapi sekedar berfungsi untuk menyimpan mayat tak bernyawa di dalam-nya.Masjid yang hendak kita bangun adalah masjid yang mampu membentuk jamaah mukminin yang taat kepada Allah, tekun beribadah, yang dalam kasih sayangnya antara satu dengan yang lain ibarat satu badan, apabila salah satu anggota jamaahnya tertimpa suatu penderitaan, maka anggota yang lain serentak mengadakan reaksi, tidak dapat tidur nyenyak. turut merasakan penderitaan saudaranya. Kemudian bersiap sedia memberikan perlindungan, pertahanan dan pertolongan.
PERAN SOSIAL MASJID DI ZAMAN NABI
Selain digunakan untuk tempat melakukan sholat lima waktu, shalat jum’at, sholat tarawih, dan ibadah-ibadah lainnya, masjid juga diguna-kaan untuk kegiatan syiar Islam, tempat pertemuan, tempat bermusyawarah, tempat perlindungan, tempat ke-giatan sosial, tempat pengobatan orang sakit, tempat latihan dan mengatur siasat perang, tempat penerang-an dan pendidikan dan dakwah/pengajian..
Fungsi masjid yang sesungguhnya dapat dirujuk pada sejarah masjid paling awal, yaitu penggunaan masjid pada masa nabi Muhammad SAW, al-Khulafa’ar Rasyidun, dan seterusnya. Pada masa-masa itu masjid paling tidak mem-punyai dua fungsi, yaitu fungsi keagamaan dan fungsi sosial.
Fungsi masjid bukan hanya tempat sholat, tetapi juga lembaga untuk mempererat hubungan dan ikatan jamaah Islam yang baru tumbuh. Nabi Muhammad SAW mempergunakan masjid untuk menjelaskan wahyu yang diterimanaya, memberi-kan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan para sahabat tentang berbagai masalah, memberi fatwa, mengajarkan agama Islam, membudayakan musyawarah, menyelesaikan perkara – perkara dan perselisihan – perselisihan, tempat meng-atur dan membuat strategi militer, dan tempat menerima utusan-utusan dari semenanjung Arabia.
Masjid Nabawi memiliki suatu ruangan yang disebut suffah, yaitu tempat menyantuni fakir miskin dan tempat tinggal bagi mereka yang ingin mendalami Islam.
Untuk mengatasi masalah sosial, Rasulullah SAW. Dan para sahabat menjadikan masjid sebagai tempat kegiatan sosial, misalnya dengan meng-umpulkan zakat, infaq dan shodaqah, lalu menyalurkannya kepada sahabat yang mem-butuhkannya.
KONDISI MASJID SAAT INI
Kini, masjid nyaris tidak punya kepedulian terhadap kebutuhan jamaahnya. Masjid yang dulu dipergunakan Nabi sebagai pusat perjuangan umat, kini banyak yang difungsikan sekadar sebagai tempat ibadah ritual mahdoh. Masjid kini baru mampu menganjurkan suatu kebaikan tapi tak mampu mewujudkannya. Umat sibuk mencari dana untuk membangun dan memegahkan masjid, tetapi tak mampu membantu jamaahnya memenuhi kebutuhan hidup dan ibadahnya.
Tugas kita kemudian adalah bagaimana kita bisa mengembangkan fungsi masjid sekarang ini sebagaimana yang telah dilakukan rasulullah bersama para sahabatnya, yang mampu menjadi mediator dan sekaligus sebagai fasilitator pemberdayaan umat.
MEMBANGUN MODAL SOSIAL UMAT
Beberapa krisis yang dialami masjid dewasa ini, seperti kriris kepengurusan, krisis keterlibatan jamaah maupun krisis keuangan, sebenarnya disebabkan terjadinya krisis kepercayaan. Sedangkan, krisis kepercayaan muncul karena kita kurang merawat dan memanfaatkan kalau tidak boleh dibilang mengabaikan terhadap modal sosial yang begitu besar dianugerahkan Allah kepada .
Para tokoh agama, para nadlir dan para pengurus masjid selama ini, pemahamannya terhadap modal begitu terpaku pada modal ekonomi atau finansial ( financial capital ). Sehingga kita baru merasa memiliki modal kalau uang yang terkumpul berjumlah banyak. Pada hal ada banyak modal lain yang dapat kita kembangkan untuk memberdayakan masjid. Bentuk modal lain yang dapat kita kembang itu , seperti modal manusia, modal intelektual jamaah, modal kultural atau budaya dan juga modal soasial .
Modal manusia, misalnya dapat meliputi keterampilan atau kemampuan yang dimiliki orang untuk melaksanakan tugas tertentu. Tentu di dalam jamaah masjid, banyak terdapat jamaah kita yang secara individula memiliki kemampuan atau keterampilan tertentu untuk membantu pengurus menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Kita perlu mendatanya, menganalisanya untuk kita ajak bersama berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk kemaslahatan bersama. Dan kalau ini kita lakukan, insya Allah jamaah yang bersangkutan akan lebih merasa dilibatkan ( di ewongke ), dihargai, diperhatikan sehingga lebih memiliki tanggungjawab untuk turut memakmurkan masjid.
Modal intelektual mencakup kecerdasan atau ide-ide yang dimiliki manusia untuk mengartikulasikan sebuah konsep atau pemikiran. Dewasa ini tingkat pendidikan jamaah masjid kita tentu jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Kondisi yang demikian, tentu amat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hasil interaksi antara jamaah dengan jamaah atau musyawarah antara jamaah dan pengurus. Persoalanya adalah bagaimana pengurus atau takmir masjid memfasilitasi terjadinya interaksi dan musyawarah jamaah itu menjadi lebih berkualitas dan produktif.
Modal kultural meliputi pengetahuan dan pemahaman komunitas terhadap terhadap praktek dan pedoman hidup dalam masyarakat. Modal kultural dapat berbentuk adat kebiasaan, kesenian atau tradisi yang hidup dalam komunitas jamaah. Ibarat kendaraan, modal kultural dapat dipergunakan sebagai kendaraan untuk melakukan aktivitas jamaah masjid, tidak usah membentuk wadah baru. Sehingga aktivitas yang dijalankan mudah tersosialisasikan dan lebih tertanam dalam jiwa setiap warga jamaah masjid.
Sedangkan Konsep modal sosial muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Untuk menghadapi masalah tersebut, diperlukan adanya kebersamaan dan kerjasama yang baik dari segenap anggota masyarakat yang berkepentingan. Modal sosial menurut pencetusnya Lyda Judson Hanifan ( Hanifan: l916) bukanlah modal dalam artian biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat.
Menurut Hanifan, dalam modal sosial dapat berupa kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial. Sedangkan menurut Piere Bourdieu, seorang sosiolog Perancis kenamaan, mengemukakan bahwa untuk memahami berfungsinya struktur dan berfungsinya dunia sosial membangun kesejahteraan sosial) perlu dikaji seluruh modal dalam segala bentuknya, tidak cukup modal ekonomi saja. Menurutnya, dalam setiap transaksi modal ekonomi selalu disertai oleh modal immaterial berupa modal budaya dan modal sosial. Bourdieu, mendefinisikan modal sosial adalah keseluruhan sumberdaya baik aktual maupun potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan hubungan kelembagaan yang tetap dengan didasarkan pada saling kenal dan saling mengakui. Dengan kata lain, seseorang dengan menjadi anggota dari suatu perkumpulan atau organisasi akan memperoleh dukungan dari modal yang dimiliki secara kolektif.
Sedangkan besarnya modal sosial yang diperoleh seseorang yang menjadi anggota perkumpulan tersebut, tergantung pada seberapa besar kuantitas maupun kualitas jaringan yang diciptakan-nya, serta seberapa besar volume modal ekonomi, budaya dan sosial yang dimiliki setiap orang yang ada dalam jaringan tersebut (Bourdieu: 1986). Dengan demikian, seperti halnya modal ekonomi, modal sosial juga bersifat produktif. Tanpa adanya modal sosial seseorang tidak akan bisa memperoleh keuntungan material dan mencapai keberhasilan secara optimal.Tetapi seperti juga modal ekonomi, modal fisik, modal manusia, modal sosial juga tidak selalu memberi manfaat dalam segala situasi, bahkan bisa menimbulkan kerugian ( down side social capital ) . (Coleman, l990).
Jame Coleman ( l988), berdasarkan hasil-hasil penelitiannya mengemukakan, bahwa pengertian modal sosial ditentukan oleh fungsinya.Sekalipun fungsi modal sosial itu banyak, tetapi menurutnya, fungsi modal sosial itu memiliki dua unsur : Pertama; Modal sosial mencakup sejumlah aspek struktur sosial, dan Kedua; Modal sosial memberi kemudahan bagi orang untuk melakukan sesuatu dalam kerangaka struktur sosial tersebut. Dalam rangka memudahkan tercipta dan berkembangnya modal sosial dalam berbagai bentuknya, Coleman memberi penekanan pada dua aspek dari struktur sosial yang sangat penting. Pertama; aspek struktur sosial dalam jaringan tersebut dapat menciptakan pengungkungan yang membuat setiap orang saling berhubungan sedemikian rupa sehingga kewajiban-kewajiban maupun sanksi-sankai dapat dikenakan kepada setiap orang yang menjadi anggota jaringan tersebut. Kedua; adanya organisasi sosial yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan bersama.
Ada tiga unsur utama yang menjadi pilar modal sosial :
a. Kewajiban dan harapan yang timbul dari rasa saling percaya dalam lingkungan sosial.
b. Arus informasi yang lancar di dalam struktur sosial untuk mendorong berkembangnya kegiatan dalam masyarakat.
c. Adanya norma-norma yang harus ditaati dengan sanksi yang jelas dan efektif. Tanpa adanya seperangkat norma yang disepakati dan dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat maka yang muncul adalah anomie dimana setiap orang berbuat menurut kemauan sendiri tanpa merasa ada ikatan dengan orang lain. Juga tidak ada mekanisme mejatuhkan sanksi karena tidak ada norma yang disepakati bersama.
Dengan demikian menurut Colemen, pengembangan modal sosial pada dasarnya adalah membangun ketiga pilar tersebut.
Definisi yang paling mudah dipahami masyarakat luas tentang konsep modal sosial adalah definisi yang dikemukakan Robert Putman. Bagi Putman, modal sosial adalah merupakan seperangkat hubungan horizontal antara orang-orang. Modal sosial terdiri dari “ networks of civic engagements ” jaringan keterikatan sosial yang diatur oleh norma-noma yang menentukan produktivitas suatu kelompok masyarakat . Ada dua asumsi dasar dari konsep modal sosial yaitu, adanya jaringan hubungan dengan norma-norma terkait, dan adanya sikap saling mendukung dari orang-orang yang tergabung dalam jaringan tersebut untuk mencapai keberhasilan bersama.
Dari hasil penelitiannya, Putman berkesimpulan, modal sosial yang berupa norma-norma dan jaringan keterkaitan adalah merupakan prasyarat bagi berkembangnya ekonomi dan juga bagi terciptanya tata pemerintahan yang efektif dan efisien. Untuk hal ini ada tiga alasan yang dikemukakan:
1. Dengan adanya jaringan sosial memungkinkan adanya koordinasi dan komunikasi yang dapat menumbuhkan rasa saling percaya diantara sesama anggota masyarakat.
2. Kepercayaan ( trust ) memiliki implikasi positif dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam suatu jaringan, yang orang-orangnya memiliki rasa saling percaya ( mutual trust ) akan memperkuat norma-norma untuk saling membantu.
3. Berbagai keberhasilan yang dicapai melalui kerjasamadalam waktu sebelumnya akan mendorong keberlangsungan kerjasama pada waktu selanjutnya. Bahkan lebih jauh Putman mengatakan modal sosial dapat menjembatani jurang pemisah antara kelompok-kelompok yang berbeda idelogi dan memperkuat kesepakatan – kesepakatan tentang pentingnya pember-dayaan masyarakat.
Memahami konsep modal sosial sebagaimana tersebut di atas, maka dalam jamah masjid terkandung modal sosial yang cukup besar. Modal sosial jamaah masjid timbul dari hasil interaksi antar jamaah dan lingkungan sosial komunitas masjid. Interaksi itu dapat terjadi dalam skala individual maupun institusional ( kemasjidan ). Secara pribadi interaksi masing-masing jamaah terjadi manakala relasi intim antara jamaah satu dengan jamaah lainnya terbentuk kemudian melahirkan ikatan emosional sebagai sesama jamaah masjid.
Sedangkan secara institusional, interaksi masjid dapat terbangun manakala visi, misi dan tujuan masjid, memiliki kesamaan dengan visi, misi serta tujuan dari organisasi, kelompok-kelompok sosial yang ada di lingkungan masjid.
Interaksi yang berlangsung realtif lama, akan melahirkan modal sosial, yaitu kesamaan tujuan, menumbuhkan rasa saling percaya, rasa aman dan kerja sama berbagi hak dan kewajiban sebagai tanggung jawab bersama yang dilakukan atas dasar kesadaran dan keikhlasan bertindak. Jika jamaah dan lingkungan sosial masjid telah terbangun modal sosial yang sedemikian itu secara cukup kuat, rasanya tak ada perbedaan dan permasalaan yang tidak teratasi, karena energi sosial yang mikili menjadi berlipat-lipat besarnya. Bagaimana energi sosial ini terbangun akan kita bicarakan di bagian lain tulisan ini.
Parameter Modal Sosial Jamaah Masjid
Sebagaimana bentuk-bentuk modal lainnya modal sosial juga bersifat produktif. Di muka telah dijelaskan modal sosial jamaah muncul sebagai produk relasi jamaah satu dengan jamaah lainnya atau institusi masjid dengan lingkungan sosialnya, khususnya relasi – interaksi yang diakukan secara intim familier dan konsisten akan melahirkan produktivitas sosial. Produktivitas sosial adalah kesepakatan-kesepakatan bersama yang dihasilkan untuk mencapai tujuan bersama.
Modal sosial berbeda dengan modal finansial, karena modal sosial bersifat komulatif dan bertambah dengan sendirinya ( self- reinforcing ) ( Putnam,1993 ). Modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, sebaliknya rusaknya modal sosial lebih sering diakibatkan karena jarangnya dipergunakan.
Ada tiga paramater apakah jamaah masjid memiliki modal sosial kuat atau lemah. Tiga modal sosial itu sebagaimana dikemukakan ( Ridell:1977 ). yaitu kepercayaan ( Trust ), norma-norma ( norms) dan jaringan ( network ).
1. Kepercayaan :
Kepercayaan adalah harapan yang tumbuh dalam masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur dan kerjasama berdasarkan norma-norma bersama. Dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayan tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif, hubungan jamaah satu dengan jamaah lainnya bersifat kerjasama, tidak saling mengungkap kejelekan, tidak saling menistakan apalagi mencelakakan, ikatan kejamaahannya kokoh, kehidupan sosial masing-masing anggota jamaah harmonis dalam arti masing-masing jamaah dapat menjalankan status peran sosialnya ( pemimpin, yang dipimpin, yang tua dan yang muda , orang tua dan anak, suami dan istri dll. ) dengan baik.
2. Norma
Norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang termasuk kelompok jamaah masjid. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun standar-satandar yang disepakati secara rasional seperti kode etik profesional. Norma – norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama masa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama ( Putman, l993; Fukuyama, l995 dalam Edi Suharto, 2007 ).
Bagi jamaah masjid, norma-norma dibangun berdasarkan nilai-nilai agama Islam dan norma-norma yang disepakati yang sering disebut dengan ahlak. Sehingga kuat lemahnya modal sosial jamaah masjid juga dapat diukur dari tinggi rendahnya ahlak para jamaahnya. Kalau secara kolektif ahlak jamaah di suatu masjid itu baik-baik, maka dapat dipastikan modal sosial yang dimiliki kelompok jamaah itu kuat, begitu sebaliknya.
3. Jaringan
Dalam komunitas jamaah masjid, biasanya terdiri dari banyak komunitas-k omunitas kecil. Seperti majlis taklim, kelompok pengajian, kelompok tahlil, yasinan , kajian malam jum’at, lailatul ijtima’ dll. Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia ( Putman,l993). Sehingga untuk mengukur kuat lemahnya jamaah masjid dapat dilihat juga dari fungsi dari kelompok – komunitas-komunitas yang ada apakah berfungsi untuk memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, yang memungkinkan tumbuhnya sikap saling percaya dan memperkuat kerjasama ( ta’awun ) dan ukhuwah .
Dalam realitas yang kita amati tidak jarang komunitas keagamaan seperti itu, gagal menanamkan sikap saling percaya, kerjasama ( ta’awun ) dan ukhuwah. Mereka para anggota jamaah datang dan pergi mengucapkan salam dan berjabat tangan, tapi hatinya jauh. Sehingga pertemuan rutin yang ia jalani tak menghasilkan produk sosial apapun, kecuali harapan mendapatkan syurga di kehidupan kelak. Sikap ini yang menyebabkan komunitas jamaah keagamaan, miskin kreatifitas dan enovasi, dari dulu hingga sekarang tak ada perubahan apapun, kurang memiliki kepekaan terhadap dinamika dan permasalahan umat. Kemudian tersadar kalau kita memang tidak berdaya, miskin modal.
Masyarakat yang sehat, jamaah yang sehat, perkumpulan komunitas keagamaan yang sehat, jamaah masjid yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang kokoh dan fungsional ( bermakna ) dalam menghadapi realita kehidupan. Mereka sadar dan melakukan pertemuan dengan orang lain untuk membangun inter-relasi yang kental, baik yang bersifat formal maupun non formal untuk memperkuat sikap saling percaya dan perasaan kerjasama para anggotanya serta memberikan manfaat yang besar bagi sesama terutapi yang berpatisipasi di dalamnya.
Dengan menggunakan indikator kunci yang dijadikan ukuran modal sosial ( Speller, 1977, Suharto, 20006 b ), maka modal sosial jamaah masjid dapat diukur dengan menggunakan parameter sebagai berikut :
Perasaan identitas 
Perasaan memilki atau sebaliknya, perasaan alienasi
Sistem kepercayaan dan idologi
Nilai-nilai dan tujuan-tujuan
Ketakutan-ketakutan
Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat
Persepsi mengenai akses terhadap pelayanan, sumber dan fasilitas ( misalnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan , keseharian, transportasi, jaminan sosial )
Opini mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan terdahulu
Keyakinan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya
Tingkat kepercayaan
Kepuasan dalam hidup dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya
Harapan-harapan yang ingin dicapai di masa depan.
 Sumber: http://alkhuzaimah.wordpress.com/2013/05/04/masjid-sebagai-pusat-pembinaan-umat/
Baca Selanjutnya - Masjid Sebagai Pusat Pembinaan Umat