Pages

Ads 468x60px

Labels

Featured Posts

Selasa, 15 Oktober 2013

Idul Adha 1434.H, Masjid Muslimin Lembasung Potong 2 Sapi dan 2 Kambing

Lembasung - Setelah melakukan Salat Idul Adha yang dipimpin oleh imam Ust. M. Said dan Khutib Ust. Sugino, Masjid Muslimin Kampung Lembasung melaksanakan pemotongan hewan kurban sebanyak 2 ekor sapi dan 2 ekor kambing.
“Ada 2 ekor sapi dan 2 ekor kambing yang akan dikurban hari ini,” ujar Ali Gatmir selaku kordinator seksi PHBI dan Panitia kurban Masjid Muslimin Lembasung,
Ali Gatmir menjelaskan, hewan kurban tersebut merupakan bantuan dari beberapa orang, diantaranya;   1 ekor sapi bantuan dari Muhammad Ridho Ficardo bin Muhammad Fauzi Toha dari Bandar Lampung,  1 ekor sapi bantuan Sinudin dari Kelurahan Blambangan Umpu, dan Kambing bantuan dari Hj. Rasmi binti Sarhani dari Kampung Lembasung.
Sementara itu Kepala Kampung Lembasung, Hasbi Said dalam sambutannya sebelum salat id mengatakan, makna Idul Adha adalah mengingatkan kita untuk selalu berbagi terhadap orang-orang yang kurang mampu. Oleh karena itu, hendaknya daging kurban ini nanti benar-benar dibagikan seluruhnya kepada masyarakat yang benar-benar berhak menerimanya. Untuk menghindari kesemrawutan dalam pembagian hewan kurban, maka hendaknya selain panitia kurban diharapkan tidak boleh ikut terlibat dalam proses pelaksanaan pemotongan kurban. Mudah-mudahan mulai tahun ini, penyelenggaraan kurban bias berjalan tertib dan teratur. Selanjutnya atas nama masyarakat Lembasung kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Saudara-Saudara yang telah memberikan bantuan hewan kurban untuk masyarakat Lembasung. Semoga amal Saudara-Saudara diterima oleh Allah SWT.
“Mudah-mudahan kegiatan idul kurban ini menjadi motivasi bagi seluruh masyarakat untuk bekerja lebih baik dan memberikan yang terbaik buat Kampung Lembasung. Dan bukan saling musuh-musuhan antar umat.” Imbuh Hasbi Said.
Baca Selanjutnya - Idul Adha 1434.H, Masjid Muslimin Lembasung Potong 2 Sapi dan 2 Kambing

Minggu, 15 September 2013

Bab Thaharah (Bersuci) : Air dan Macamnya (3)

Macam Keempat : Air Yang Bernajis
Pada macam air ini terdapat dua keadaan.
Pertama; bila najis itu merubah salah satu diantara rasa, warna dan baunya.
Dalam keadaan ini para ulama sepakat bahwa air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci sebagaimana disampaikan olrh Ibnul Mudzir dan Ibnul Mulqin.
Kedua; bila air tetap dalam keadaan mutlak, dengan arti salah satu diantara sifatnya yang tiga tadi tidak berubah. Hukumnya adalah ia suci dan mensucikan, biar sedikit atau banyak.
Alasannya adalah hadits Abu Hurairah ra : “Seorang badui berdiri lalu kencing di masjid. Orang-orang pun sama berdiri untuk menangkapnya. Maka bersabdalah Rasulullah saw : ‘Biarlah dia, hanya tuangkanlah pada kencingnya setimba atau seember air! Kamu dibangkitkan adalah untuk memberi keringanan bukan kesukaran.‘” (HR. Jama’ah kecuali Muslim)
Juga hadits Abu Sa’id Al-Khudri ra, katanya : “Dikatakan orang : ‘Ya Rasulullah, bolehkah kita berwudhu dari telaga Budha’ah*?’ Maka bersabdalah Nabi saw : ‘Air itu suci lagi mensucikan, tak satu yang akan menajisinya.‘ (HR. Ahmad, Syafi’i, Abu Daud, Nasa’i dan Tirmidzi). Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan, sedang Ahmad berkata : “Hadits telaga Budha’ah adalah shahih.” Hadits ini disahkan pula oleh Yahya bin Ma’in dan Abu Muhammad bin Hazmin.
Ini adalah pula pendapat dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Basri, Ibnul Musaiyah, ‘Ikrimah, Ibnu Abi Laila, Tsauri, Daud Azh-Zhahiri, Nakha’i, Malik dan lain-lain. Gazzali mengatakan : “Saya berharap kiranya madzhab Syafi’i mengenai air, akan sama dengan mazdzhab Malik.”
Adapun hadits Abdullah bin Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda : “Jika air sampai dua kulah, maka ia tidaklah mengandung najis.” (HR. Yang Berlima), maka ia adalah mudhtharib, artinya tidak keruan, baik sanad maupun matannya.
Berkata Ibnu ‘Abdil Barr didalam At-Tahmid, “Pendirian Syafi’i mengenai hadits dua kulah, adalah madzhab yang lemah dari segi penyelidikan, dan tidak berdasar dari segi alasan.”
* Telaga Budha’ah adalah telaga di Madinah. Berkata Abu Daud: “Saya dengar dari Qutaibah bin Sa’id berkata : ‘Sebanyak-banyak air ialah setinggi pinggang.’ Saya tanyakan pula : ‘Bila di waktu kurang?’ ‘Dibawah aurat,’ ujarnya. Dan saya ukur sendiri telaga Budha’ah itu dengan kainku yang kubentangkan diatasnya lalu saya hastai, maka ternyata lebarnya 6 hasta. Dan kepada orang yang telah membukakan bagiku pintu kebun dan membawaku ke dalam, saya tanyakan apakah bangunannya pernah dirombak, jawabnya : ‘Tidak.’ Dan dalam sumur itu kelihatan air yang telah berubah warnanya.”
Fiqih Sunnah – Sayyid Sabiq

Baca Selanjutnya - Bab Thaharah (Bersuci) : Air dan Macamnya (3)

Sabtu, 14 September 2013

Bab Thaharah (Bersuci) : Air dan Macamnya (2)

Macam Kedua : Air Musta’mal, Yang Terpakai
Yaitu air yang telah terpisah dari anggota-anggota orang yang berwudhu’ dan mandi.
Hukumnya suci lagi menyucikan sebagai halanya air mutlak tanpa perlu berbeda sedikitpun. Hal itu ialah mengingat asalnya yang suci, sedang tiada dijumpai suatu alasan pun yang mengeluarkannya dari kesucian itu.
Juga karena hadit Rubaiyi’ binti Mu’awwidz sewakti menerangkan cara wudhu’ Rasulullah saw, katanya: “Dan juga disapunya kepalanya dengan sisa wudhu’ yang terdapat pada kedua tangannya.
Juga dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw berjumpa dengannya di salah satu jalan kota Madinah sedangkan waktu ia dalam keadaan junub. Maka ia pun menyelinap pergi dari Rasulullah saw lalu mandi, kemudian datang kembali. Ditanyakanlah oleh Nabi saw kemana ia tadi, yang dijawabnya bahwa ia darang sedang dalam keadaan junub dan tak hendak menemaninya dalam keadaan tidak suci itu. Maka bersabdalah Rasulullah saw: “Mahasuci Allah, orang Mukmin itu tak mungkin najis.
Jalan mengambil hadits ini sebagai alasan ialah kearena disana dinyatakan bahwa orang Mukmin itu tak mungkin najis. Maka tak ada alasan menyatakan bahwa air itu kehilangan kesuciannya semata karena bersentuhan, karena itu hanyalah bertemunya barang yang suci pula hingga tiada membawa pengaruh apa-apa.
Berkata Ibnul Mundzir: “Diriwayatkan dari Hasan, ‘Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, ‘Atha;, Makhul dan Nakha’i bahwa mereka berpendapat tentang orang lupa menyapu kepalanya lalu mendapatkan air di janggutnya: Cukup bila ia menyapu dengan air itu. Ini menunjukkan bahwa air musta’mal itu mensucikan dan demikianlah pendapatku.”
Dan madzhab ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Malik dan Syafi’i, dan menurut Ibnu Hazmin juga merupakan pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Abu Tsaur dan semua ahli Zhahir.
Macam Ketiga : Air Yang Bercampur Dengan Barang yang Suci
Misalnya seperti sabun, kiambang, tepung dan lain-lain yang biasanya terpisah dari air.
Hukumnya tetap mensucikan selama kemutlakannya masih terpelihara. Jika sudah tidak, hingga ia tak dapat lagi dikatakan air mutlak, maka hukumnya ialah suci pada dirinya, tidak mensucikan bagi lainnya.
Diterima dari Ummu Athiyah, katanya :
“Telah masuk ke ruangan kami Rasulullah saw ketika wafat puterinya Zainab, lalu katanya : ‘Mandikanlah ia tiga atau lebih banyak lagi jika kalian mau, dengan air dan daun bidara, dan campurlah yang penghabisan dengan kapur barus atau sedikit daripadanya. Jika sudah selesai, beritahukanlah kepadaku.‘ Maka setelah selesai, kami sampaikanlah kepada Nabi saw. Diberikannyalah kepada kami kainnya serta katanya : ‘Balutkanlah pada rambutnya!‘ Maksudnya kain itu.” (HR. Jama’ah)
Sedang mayat tidak boleh dimandikan kecuali dengan air yang sah untuk mensucikan orang yang hidup. Dan menurut riwayat Ummu Hani’, bahwa Rasulullah saw mandi bersama Maimunah dari sebuah bejana, yaitu sebuah pasu yang didalamnya terdapat sisa tepung.
Jadi di dalam kedua hadits terdapat percampuran, hanya tidak sampai sedemikian rupa yang menyebabkannya tak dapat lagi disebut air mutlak.
Fiqih Sunnah – Sayyid Sabiq

Baca Selanjutnya - Bab Thaharah (Bersuci) : Air dan Macamnya (2)

Bab Thaharah (Bersuci) : Air dan Macamnya (1)

Macam Pertama : Air Mutlak
Hukumnya adalah bahwa ia suci lagi menyucikan, artinya bahwa ia suci pada dirinya sendiri dan menyucikan bagi lainnya. Di dalamnya termasuk macam-macam air sebagai berikut:
1. Air hujan, salju atau es, dan air embun, berdasarkan firman Allah Ta’ala :
Dan diturunkan-Nya padamu hujan dari langit untuk menyucikanmu.” (QS. Al Anfal:11)
Dan Kami turunkan dari langit air yang suci lagi mensucikan.” (QS. Al Furqan:48)
Juga berdasarkan hadit Abu Hurairah ra, katanya: “Adalah Rasulullah saw bila membaca takbir di dalam sembahyang diam sejenak sebelum membaca Al Fatihah, maka saya tanyakan: ‘Demi kedua orangtuanku, wahai Rasulullah! Apakah kiranya yang Anda baca ketika berdiam diri di antara takbir dan membaca Al Fatihah?’ Rasulullah pun menjawab: ‘Saya membaca: Ya Allah, jauhkanlah daku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau menjauhkan Timur dari Barat. Ya Allah, bersihkanlah daku sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dari kotoran. Ya Allah, sucikanlah daku dari kesalahan-kesalahan dengan salju, air dan embun.‘” (HR Jama’ah kecuali Tirmidzi)
2. Air laut,
berdasarkan hadits Abu Hurairah ra, katanya : “Seorang laki-laki menanyakan kepada Rasulullah, katanya : ‘Ya Rasulullah, kami biasa berlayar di lautan dan hanya membawa air sedikit. Jika kami pakai air itu untuk berwudhu, akibatnya kami akan kehausan. Maka bolehkan kami berwudhu dengan air laut?’ Berkatalah Rasulullah saw : ‘Laut itu airnya suci lagi mensucikan, dan bangkainya hala dimakan.‘” (Diriwayatkan oleh Imam Yang Lima)
Berkata Imam Tirmidzi -rahimahullah- : “Hadits ini hasan lagi shahih, dan ketika kutanyakan kepada Muhammad bin Ismail al-Bukhari -rahimahullah- tentang hadits ini, jawabnya ialah ‘Hadits ini shahih.’”
3. Air telaga,
karena apa yang diriwayatkan dari Ali ra, katanya : “Bahwa Rasulullah saw meminta seember penuh dari air zamzam, lalu diminumnya sedikit dan dipakainya untuk berwudhu.” (HR Ahmad)
4. Air yang berubah disebabkan lama tergenang dan tidak mengalir, atau disebabkan bercampur dengan apa yang menurut ghalibnya tak terpisah dari air seperti kiambang dan dain-daun kayu, maka menurut kesepakatan ulama, air itu tetap termasuk air mutlak. Alasan mengenai air semacam ini ialah bahwa setiap air yang dapat disebut air secara mutlak tanpa kait, boleh dipakai untuk bersuci.
Firman Allah Ta’ala :
Jika kamu tiada memperoleh air, maka bertayammumlah kamu!” (QS. Al Maidah:6)
Fiqih Sunnah – Sayyid Sabiq

Baca Selanjutnya - Bab Thaharah (Bersuci) : Air dan Macamnya (1)

Jumat, 13 September 2013

Bekal Ibadah Haji


Di dalam Alquran Surat Al-Baqarah: 197 “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (kata-kata kotor), berbuat fasik (zalim kepada yang lain) dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”.

Ayat ini secara tegas menyatakan persiapan yang harus dimiliki oleh setiap jamaah calon haji, di samping hal-hal yang bersifat fisik material, termasuk uang dan barang-barang lainnya, juga hal-hal yang bersifat spiritual dan rohaniah yang menguatkan akhlak dan perilaku yang baik, serta menjauhkan dari perilaku yang  buruk dan tercela, terutama tiga perilaku yang secara eksplisit diungkap dalam ayat tersebut.
   
Pertama, dilarang mengeluarkan kata-kata dan ucapan yang kotor dan kasar yang tidak pantas dan tidak layak diucapkan di tanah haram, terlebih lagi pada saat berpakaian ihram, seperti kata-kata yang berbau porno, menyakitkan, atau berisikan cacian dan hinaan.

Selanjutnya harus diganti dengan ucapan-ucapan yang mencerminkan kepatuhan dan ketundukan hati kepada Allah SWT, seperti tasbih, tahmid, takbir, tahlil, doa, membaca salawat kepada Nabi SAW, dan memperbanyak membaca Alquran.
   
Kedua, dilarang berbuat fasik dan zalim serta aniaya kepada sesama jamaah atau pada makhluk Allah SWT lainnya yang hidup di tanah haram, termasuk dilarang merusak dan mencabuti tanaman yang tumbuh, serta berburu atau membunuh binatang. Dan juga dilarang berdusta, berbohong dan menipu orang lain.

Ketiga, dilarang berbantah-bantahan yang menyebabkan timbulnya permusuhan dan pudarnya semangat persaudaraan atau ukhuwah islamiyyah terutama antar sesama jamaah, baik yang berasal dari satu daerah atau satu negara, maupun dari daerah dan negara lain.

Semua jamaah haji harus harus larut dalam suasana keakraban, kekeluargaan, saling menolong dan saling membantu yang mencerminkan satu tubuh (kal jasadil waahid) atau satu bangunan yang solid (kalbunyaan yasyuddu ba’duhu ba’dhan).

Hal-hal tersebut itulah yang harus menjadi bekal utama dari setiap jamaah calon haji, yang kalau dilatih dan dibiasakan selama ibadah haji, mudah-mudahan akan menjadi perilaku utama yang masuk ke dalam struktur kepribadian para jamaah.

Dan itulah oleh-oleh yang seharusnya dibawa oleh para jamaah ketika kembali ke Tanah Air dan ke tempat masing-masing. Adanya peningkatan perilaku yang semakin baik dari sebelumnya.

Dan itulah yang dikatakan haji mabrur sebagaimana dikemukakan oleh Imam Hasan al-Basri (Fiqh Sunnah Vol. 5) ayyakuuna ahsana min qablu wa ayyakuuna qudwata ahli baladihi (perilakunya lebih baik daripada sebelumnya dan menjadi panutan masyarakat lingkungannya).

Selamat melaksanakan ibadah haji. Semoga mempersiapkan bekal takwa dan membawa oleh-oleh perubahan perilaku yang lebih baik. Wallahu A’lam.(oleh. KH Didin Hafidhuddin)
Baca Selanjutnya - Bekal Ibadah Haji